Apa saja keutamaan ilmu dan orang yang berilmu? Berikut keterangan dari Imam Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’adah, lebih dari 100 poin bahasan yang penuh pelajaran di dalamnya.
Baca juga: Lebih dari 100 Keutamaan Orang Berilmu dari Kitab Miftah Daar As-Sa’adah (Bagian 01)
Keseratus tujuh (#139): Orang yang Tidak Punya Ilmu Sama Sekali akan Jadi Hina
Jiwa-jiwa bodoh yang tidak berilmu dikenakan pakaian kehinaan dan cemoohan. Jiwa-jiwa yang seperti ini lebih cepat dihina. Hal itu sudah lazim diketahui kalangan terpelajar maupun awam.
Salah seorang khalifah Bani Abbas bermain catur, lalu pamannya meminta izin masuk. Dia mengizinkan pamannya masuk lalu ia menutup papan catur. Setelah pamannya duduk, ia bertanya, “Paman! Apakah engkau membaca Al-Qur’an?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau menulis sunnah meskipun sedikit?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau mempelajari fikih dan perbedaan pendapat ulama?” “Tidak”, jawabnya. Dia kembali bertanya, “Apakah engkau mempelajari bahasa dan sejarah manusia?” “Tidak”, jawabnya. Si khalifah akhirnya berkata, “Bukalah papan caturnya.” Dia akhirnya meneruskan permainan catur. Rasa segan dan hormat pada pamannya hilang sudah. Teman bermain catur khalifah itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Masa’ engkau membuka papan catur sementara di sini ada seorang yang engkau segani?” Khalifah berkata, “Diamlah, tidak ada seorang pun di sini bersama kita.”
Ini karena manusia memiliki: (1) ilmu, (2) akal, (3) pemahaman yang membedakannya dengan hewan. Saat seseorang tidak memiliki semua itu, maka ia sama seperti hewan.
Keseratus delapan (#140): Ilmu Tidak Akan Pernah Mau Diganti dengan Barang Lain
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ان كل صاحب بضاعة سوى العلم إذا علم ان غير بضاعته خير منها زهد في بضاعته ورغب في الاخرى وود انها له عوض بضاعته الا صاحب بضاعة العلم فإنه ليس يحب ان له يحظه منها حظ اصلا
“Siapa pun yang memiliki barang selain ilmu, manakala mengetahui ada barang lain yang lebih baik, ia merasa tidak memerlukan lagi barang miliknya itu dan lebih menginginkan barang yang baru. Ia juga berharap barang miliknya ditukar dengan barang tadi. Kecuali pemilik ilmu, ia tidak ingin miliknya ditukar dengan apa pun.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:503)
Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata, “Suatu saat aku berada di dekat Ahmad bin Abu Imran. Lalu seorang pecinta dunia melintas, aku menatapnya hingga melalaikan pelajaran yang sedang kupelajari. Ahmad lantas berkata, “Sepertinya kamu memikirkan dunia yang diberikan kepada orang itu.” Aku menjawab, “Ya.” Ahmad menyeru, “Maukah kutunjukkan sesuatu? Bagaimana jika Allah memindahkan harta miliknya kepadamu, lalu Allah memindahkan ilmumu kepadanya, sehingga kamu hidup kaya, tetapi bodoh, sedangkan ia hidup berilmu, tetapi fakir?” “Aku tidak ingin Allah mengganti ilmu yang kumiliki dengan harta yang ia miliki. Sebab ilmu adalah kekayaan tanpa harta, kemuliaan tanpa kabilah, kekuasaan tanpa prajurit,” tegasnya.
Keseratus sembilan (#141): Allah akan Membalas Kebaikan dengan Menganugerahkan Ilmu
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
ان الله سبحانه اخبر انه يجزى المحسنين اجرهم باحسن ما كانواي يعملون واخبر سبحانه انه يجزى على الاحسان بالعلم وهذا يدل على انه من احسن الجزاء
Allah mengabarkan bahwa Allah memberi balasan bagi orang-orang yang berbuat baik, yakni mereka yang beramal saleh dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka lakukan.
Allah juga mengabarkan bahwasanya Allah akan membalas kebaikan dengan menganugerahkan ilmu. Ini menunjukkan ilmu itu balasan terbaik.
Kedudukan pertama disebutkan dalam firman Allah:
وَٱلَّذِى جَآءَ بِٱلصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِۦٓ ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ
لَهُم مَّا يَشَآءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ ۚ ذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلْمُحْسِنِينَ
لِيُكَفِّرَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ أَسْوَأَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ وَيَجْزِيَهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ ٱلَّذِى كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Az-Zumar: 33-35). Balasan ini mencakup balasan dunia dan akhirat.
Kedudukan kedua disebutkan dalam firman Allah:
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُۥٓ ءَاتَيْنَٰهُ حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ
“Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 22). Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Siapa yang beribadah dengan baik di masa mudanya, maka Allah akan memberikan ia HIKMAH saat masa tuanya. Itulah yang dimaksud firman Allah dalam surah Yusuf ayat 22.”
Oleh karena itu sebagian ulama berkata, “HIKMAH berkata: Siapa yang mencariku, tetapi tidak menemukanku, hendaklah ia mengamalkan hal terbaik yang ia ketahui dan meninggalkan hal terburuk yang ia ketahui. Jika ia melakukan hal itu, aku bersamanya meski ia tidak mengenaliku.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:504)
Baca juga: Arti Diberi HIKMAH dalam Al-Qur’an (Tujuh Pengertian dari Syaikh Musthafa Al-‘Adawi)
Keseratus sepuluh (#142): Allah Menjadikan Ilmu bagi Hati Laksana Hujan bagi Bumi
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ان الله سبحانه جعل العلم للقلوب كالمطر للارض فكما انه لا حياة للارض الا بالمطر فكذلك لا حياة للقلب الا بالعلم
“Allah menjadikan ilmu bagi hati laksana hujan bagi bumi. Bumi tidak bisa hidup tanpa hujan. Begitu pula hati tidak bisa hidup tanpa ilmu.”
Disebutkan dalam kitab Al-Muwatha’,
قال لقمان لابنه يا بني جالس العلماء وزاحمهم بركبتيك فان الله تعالى يحيى القلوب الميتة بنور الحكمة كما يحيى الارض بوابل المطر
Luqman berkata kepada anaknya, “Wahai anakku! Bergaullah dengan ulama dan dekatkanlah lututmu pada mereka demi meraih rida Allah, supaya hati yang mati itu hidup dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah menghidupkan bumi dengan hujan lebat.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ولهذا فإن الأرض إنما تحتاج الى المطر في بعض الاوقات فإذا تتابع عليها احتاجت الى انقطاعه واما العلم فيحتاج اليه بعدد الانفاس ولاتزيده كثرته الا صلاحا ونفعا
“Bumi itu hanya memelurkan hujan pada waktu tertentu saja. Manakala hujan turun terus menerus, bumi menginginkan hujan berhenti. Berbeda dengan ilmu, ilmu selalu diperlukan hati sebanyak bilangan nafas. Banyaknya ilmu semakin membuat hati menjadi baik dan meraih manfaat.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:504-505)
Keseratus sebelas (#143): Ilmu Bisa Diraih dengan Terus Membujuk Hingga Merendahkan Diri
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ان كثيرا من الاخلاق التي لا تحمد في الشخص بل يذم عليها تحمد في طلب العلم كالملق وترك الاستحياء والذل والتردد الى ابواب العلماء ونحوها
“Sebagian besar akhlak yang tidak terpuji dalam diri seseorang–bahkan ia dicela–justru dipuji dalam menuntut ilmu. Sifat yang dipuji dalam menuntut ilmu adalah: membujuk agar dapat ilmu, meninggalkan rasa malu, merendahkan diri (tawadhu’), dan berulang kali mendatangi pintu ulama, dan semacamnya.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:505)
Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata,
ليس الملق من اخلاق المؤمنين الا في طلب العلم
“Sifat al-malaq (suka merayu-rayu, membujuk-bujuk) asalnya bukanlah akhlak orang beriman, kecuali pada orang yang menuntut ilmu.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
ذللت طالبا فعززت مطلوبا
“Aku merendahkan diri ketika mencari ilmu, hingga akhirnya aku menjadi mulia karena seringnya dicari.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,
وجدت عامة علم رسول الله صلى الله عليه و سلم عند هذا الحي من الانصار إن كنت لاقيل عند باب احدهم ولو شئت اذن لي ولكن ابتغى بذلك طيب نفسه
“Aku mendapati sebagian besar ilmu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di perkampungan Anshar ini. Aku pernah tidur siang di dekat pintu salah seorang penduduk Anshar. Andaikan mau, aku tentu dipersilakan masuk. Namun, aku melakukan hal itu demi mencari keridaan orang yang aku cari ilmunya.”
Di antara perkataan sebagian ulama ialah:
لاينال العلم مستحي ولا متكبر هذا يمنعه حياؤه من التعلم وهذا يمنعه كبره
Sifat malu dan sifat sombong tidak akan mendapatkan ilmu. Sifat malu itu menghalangi seseorang untuk belajar. Begitu pula sifat sombong itu menghalangi dari meraih ilmu.”
Akhlak-akhlak seperti ini dipuji dalam menuntut ilmu karena semua itu merupakan jalan untuk meraih ilmu. Dengan demikian, akhlak-akhlak tersebut termasuk bagian dari kesempurnaan seseorang dan bisa mengantarkan menuju kesempurnaan ilmu.
Ada ulama yang menyebutkan,
إذا جلست الى عالم فسل تفقها لاتعنتا
“Jika kamu menemui seorang alim, bertanyalah untuk memperdalam ilmu, bukan bertanya untuk menyusahkan diri.”
Ilmu memiliki enam tingkatan
- bagus dalam bertanya,
- berusaha diam dan mendengarkan,
- berusaha memahami,
- menghafalkan,
- mengajarkan,
- buahnya adalah mengamalkan dan memperhatikan batasan-batasannya.
(Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:507)
Banyak mendengar dibanding banyak bicara
Sebagian ulama salaf berkata, “Jika engkau duduk bersama seorang alim, hendaklah engkau banyak mendengar dibanding semangat bicara.”
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf: 37)
Allah menyebut ayat-ayat-Nya (tanda kebesaran-Nya) melalui apa yang dibaca, didengar, dan dilihat, semua itu hanya bermanfaat pada orang yang punya hati, karena siapa saja yang tidak memiliki hati yang memahami penjelasan dan peringatan dari Allah, maka apa pun tanda kebesaran yang melintas di hadapannya tidak akan membawa guna, meski seluruhnya.
Berlalunya tanda-tana kebesaran Allah di hadapannya–seperti terbitnya matahari, bulan, dan bintang–yang laksana berlalunya tanda-tanda kebesaran tersebut di hadapan orang yang tidak memiliki penglihatan. Saat objek-objek yang tampak itu melihat, dia dapat melihatnya. Bahkan orang yang memiliki hati saja tidak dapat memetik manfaat apa pun dengan hatinya tanpa adanya dua hal: (1) menghadirkan hati, (2) menyaksikan apa yang disampaikan. Ketika hati tidak hadir sebab berkelana dengan angan-angan, syahwat, dan khayalan, ia tidak dapat memetik manfaat meski memiliki hati. Ia juga tidak dapat memetik manfaat walaupun sudah menghadirkan dan membuat hati tadi menyaksikan apa yang disampaikan, kecuali jika ia mendengar nasihat dan petunjuk yang disampaikan sebaik-baiknya.
Dalam hal ini, hati terbagi menjadi tiga jenis.
- hati yang selamat, sehat, dan bisa menerima.
- menghadirkan dan menyatukan hati, serta mencegahnya agar tidak berlarian dan berserakan.
- menggunakan pendengaran dan fokus untuk ingat.
Ketiga hal ini disebutkan dalam ayat di atas.
Ibnu ‘Athiyah berkata, “Hati yang dimaksud di sini mengungkapkan fungsi akal, sebab akal tempatnya di hati. Artinya, bagi orang yang hati sadar maka dia dapat memetik manfaat dengannya.”
Dari tingkatan ilmu yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim sebelumnya, berarti ilmu tidak didapat karena enam kondisi:
- tidak mau bertanya,
- tidak bisa mendengar dengan baik dan tidak menggunakan pendengaran,
- salah paham,
- tidak menghafal,
- tidak menyebarkan ilmu karena siapa saja yang menyimpan ilmu, tidak mau mengajarkannya kepada orang lain, Allah membuatnya lupa dan menghilangkan ilmunya. Ini adalah realita.
- tidak mengamalkan ilmu sebab mengamalkan ilmu mengharuskan untuk mengingat, merenungkan, menjaganya, dan memikirkannya. Ketika seorang tidak mengamalkan ilmu, ia akan melupakannya.
Seorang ulama salaf berkata, “Kami memperkuat hafalan ilmu dengan mengamalkannya.”
Ulama yang lain berkata, “Ilmu menyeru pada amalan. Jika amalan menerima seruan, ilmu bertahan. Jika tidak, ilmu pergi.”
Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’adah (1:516) berkata, “Mengamalkan ilmu adalah sebab terbesar ilmu itu terjaga dan kokoh. Enggan mengamalkan ilmu adalah sebab ilmu itu dilupakan.”
Baca juga: Empat Langkah Tadabur Al-Qur’an
Keseratus dua belas (#144): Yang Berilmu dengan Yang Tidak Berilmu Tentu Berbeda
Allah subhanaahu wa ta’ala membedakan sepuluh hal:
- Yang berilmu dengan yang tidak berilmu.
- Yang jelek dan thayyib (baik) itu berbeda.
- Yang buta dengan melihat itu berbeda.
- Cahaya dengan kegelapan itu berbeda.
- Yang teduh dengan yang terkena panas itu berbeda.
- Penduduk surga dan neraka itu berbeda.
- Yang bisu dan tidak mampu berbuat dengan yang memerintahkan keadilan dan berada di atas jalan yang lurus itu berbeda.
- Mukmin dan kafir itu berbeda.
- Orang yang beriman dan beramal saleh dengan yang berbuat kerusakan di muka bumi itu berbeda.
- Orang yang bertakwa (muttaqin) dengan orang yang buruk (fajir) itu berbeda.
Sepuluh ayat dalam Al-Qur’an menafikan persamaan dalam hal ini. Hal ini menunjukkan betapa agungnya orang berilmu dari orang yang tidak berilmu laksana kedudukan cahaya di atas kegelapan, laksana kedudukan tempat yang teduh dari tempat yang panas, laksana kedudukan sesuatu yang baik terhadap sesuatu yang buruk. Kedudukan tersebut saling berbanding terbalik.
Hal ini sudah cukup menunjukkan kedudukan ilmu serta kedudukan orang berilmu. Lebih dari itu, jika Anda renungkan golongan-golongan di atas secara keseluruhan, Anda akan mengetahui penafian persamaan di antara semua itu merujuk pada ilmu dan penyebabnya. Di sinilah letak keutamaan dan perbedaan.
Keseratus tiga belas (#145): Burung Hudhud Selamat Karena Ilmu
Saat Sulaiman mengancam akan menyiksa burung Hudhud dengan siksaan yang berat atau akan menyembelihnya, burung Hudhud itu selamat karena ilmu. Ia memberitahukan suatu ilmu kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam melalui kata-kata lisannya. Dalam ayat disebutkan,
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِۦ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍۭ بِنَبَإٍ يَقِينٍ
“Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.” (QS. An-Naml: 22)
Ilmu tadi membuat burung Hudhud berani menyampaikan kata-kata tersebut. Sebab Andai bukan karena kekuasaan ilmu, burung Hudhud tidak akan mampu menyampaikan kata-kata seperti ini di hadapan Sulaiman, karena Hudhud lemah, sementara Sulaiman kuat.
Disebutkan dalam sebuah kisah masyhur bahwa seorang ahli ilmu ditanya tentang suatu masalah, lalu ia menjawab, “AKU TIDAK TAHU.” Satu muridnya berkata, “Aku mengetahui masalah itu.” Si guru marah dan hendak memukulnya. Murid lantas berkata, “Wahai guru! Engkau tidak lebih tahu daripada Sulaiman bin Daud meski setinggi apa pun ilmumu, dan aku tidak lebih bodoh daripada burung Hudhud, di mana burung ini berkata kepada Sulaiman,
أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ
“Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya.” Namun, Sulaiman tidak mencela atau pun memperlakukannya dengan kasar.
Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:517.
Pelajaran yang bisa diambil dari kisah Sulaiman di atas:
- Murid bisa saja lebih memiliki ilmu dibandingkan seorang guru.
- Hendaklah menghargai ilmu orang lain.
- Kalau tidak memiliki ilmu, jawablah: AKU TIDAK TAHU, daripada “sok tahu”.
- Setinggi apa pun ilmu seseorang, tetap masih ada yang lebih berilmu.
- Tak perlu memarahi murid yang memang lebih memiliki ilmu.
Keseratus empat belas (#146): Kemuliaan Dunia dan Akhirat Diraih Karena Ilmu
Perhatikan keistimewaan yang didapatkan oleh Nabi Adam atas para malaikat, mereka mengakui bahwasanya Allah mengajarkan nama benda-benda kepadanya, lantas musibah yang menimpanya digantikan oleh surga yang jauh lebih baik karena ilmu kalimat yang dia terima dari Allah.
Perhatikan pula kekuasaan, kemuliaan, serta kebesaran yang diraih Yusuf karena ilmu tafsir mimpi yang dia kuasai. Selain itu, Yusuf juga mengetahui alasan yang bisa diterima dan diakui untuk menahan saudaranya (Benyamin) di antara saudara-saudaranya yang lain, hingga akhirnya Nabi ini mencapai kemuliaan, kesudahan baik, dan kondisi sempurna karena ilmu yang dimilikinya.
Demikian seperti isyarat Allah Ta’ala dalam ayat,
كَذَٰلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ ۖ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِى دِينِ ٱلْمَلِكِ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِى عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf: 76)
Disebutkan dalam penafsiran ayat ini, Kami mengangkat derajat siapa saja yang Kami kehendaki dengan ilmu, seperti Kami mengangkat derajat Yusuf atas saudara-saudaranya.
Allah berfirman terkait Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,
وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَٰهَآ إِبْرَٰهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 83)
Ayat ini menunjukkan pengangkatan derajat karena ilmu hujjah, sementara itu ayat sebelumnya menunjukkan pengangkatan derajat karena ilmu politik (ilmu siyasah).
Seperti itu pula kemuliaan yang didapatkan Khidir karena Kamillurrahman, Musa, berguru dan bertanya dengan lembut dan sopan kepadanya. Ya, sampai-sampai Nabi Musa berkata,
قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
“Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66)
Seperti itu juga ilmu bahasa burung yang dimiliki Nabi Sulaiman, hingga dia sampai ke Kerajaan Saba, mengalahkan ratu mereka, membawa singgasana kerajaannya, dan ratu itu pun tunduk pada kekuasaannya. Maka itu Sulaiman berkata,
وَوَرِثَ سُلَيْمَٰنُ دَاوُۥدَ ۖ وَقَالَ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ عُلِّمْنَا مَنطِقَ ٱلطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِن كُلِّ شَىْءٍ ۖ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلْفَضْلُ ٱلْمُبِينُ
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”.” (QS. An-Naml: 16)
Demikian pula halnya ilmu membuat baju besi untuk melindungi serangan pedang dan senjata musuh milik Nabi Daud ‘alaihis salam. Allah menyebut nikmat ilmu yang Allah karuniakan kepada hamba-hambaNya, lalu berfirman,
وَعَلَّمْنَٰهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَّكُمْ لِتُحْصِنَكُم مِّنۢ بَأْسِكُمْ ۖ فَهَلْ أَنتُمْ شَٰكِرُونَ
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” (QS. Al-Anbiya’: 80)
Demikian halnya ilmu kitab, hikmah, Taurat, dan Injil yang dimiliki Nabi Isa ‘alaihis salam yang karenanya Allah mengangkat derajatnya, melebihkan, dan memuliakannya.
Juga ilmu yang diperoleh oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang disebut oleh Allah sebagai nikmat yang Allah karuniakan kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An-Nisaa’: 113)
Keseratus lima belas (#147): Meneladani Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam Ilmu dan Amal
Allah memuji khalilullah–kekasih Allah–Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, melalui firman-Nya,
إِنَّ إِبْرَٰهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ ٱجْتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nahl: 120-121)
Demikian empat pujian Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Nabi Ibrahim disebut:
- ummatan
- qaanitan lillah
- haniifan
- syaakiran li an’umihi
1. Ummatan, yaitu teladan yang menjadi panutan (al-qudwah alladzi yu’tamma bihi). Ibnu Mas’ud berkata, “Ummat yaitu yang mengajarkan kebaikan (al-mu’allim lil khair).” Wazan Ummat ini adalah fu’latan, dari kata al-i’timaam, sama seperti qudwatan, yaitu orang yang dijadikan contoh.
Pertama, imam adalah segala sesuatu yang diikuti, baik dilakukan dengan niat dan perasaan atau pun tidak. Dalam ayat disebut dengan imamum mubiin, artinya jalan yang jelas. Sedangkan kata jalan tidak disebut dengan ummat.
Kedua, lafazh ummatan mengandung makna lebih. Karena ia ibarat seseorang yang menyatukan sifat-sifat sempurna berupa ilmu dan amal, yang hanya dia yang miliki kesempurnaan tersebut. Ia menyatukan sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang lain, hingga seakan berbeda dengan yang lainnya.
Lafaz ummat mengesankan pada makna menyatukan, yaitu ada sifat-sifat sempurna menyatukan antara ilmu dan amal.
Dalam makna lain, ummat itu berarti kesatuan dari berbagai bangsa karena mereka ialah orang-orang yang bersatu di atas satu agama atau suatu masa.
2. Qaanitan lillah, yaitu orang yang taat kepada Allah. Kata Ibnu Mas’ud, artinya adalah al-qaanit al-muthii’, makhluk yang taat. Qunut sendiri bermakna selalu taat (dawaam ath-thoo’ah).
3. Haniifan, yaitu orang yang menghadap kepada Allah. Konsekuensinya, ia condong dengan meninggalkan apa pun selain Allah. Condong sendiri adalah konsekuensi makna hanif, terlepas kata hanif ini bermakna condong secara bahasa.
4. Syaakiran li an’umihi, yaitu mensyukuri nikmat-nikmat Allah, syukur nikmat bertumpu pada tiga sendi (rukun):
- mengakui nikmat (dengan hati),
- menyandarkannya kepada Allah yang telah memberinya (dengan lisan),
- menggunakan nikmat dalam keridaan Allah dan melakukan amalan yang Allah sukai (dengan anggota badan).
Tanpa tiga rukun ini, seorang hamba tidaklah disebut bersyukur.
Baca juga: Pengertian Syukur, Hakikat Syukur, dan Rukun Syukur
Allah memuji Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan empat sifat yang seluruhnya kembali kepada ILMU, mengamalkan, mengajarkan, dan menyebarkan ilmu.
Oleh karena itu, seluruh kesempurnaan merujuk kepada ilmu, mengamalkan ilmu, dan menyerukan manusia kepadanya.
Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:520-521.
Keseratus enam belas (#148): Ilmu adalah Suatu Keberkahan, Nabi Isa Diberkahi di mana pun Karena Mengajarkan Kebaikan
Allah Ta’ala berfirman,
قَالَ إِنِّى عَبْدُ ٱللَّهِ ءَاتَىٰنِىَ ٱلْكِتَٰبَ وَجَعَلَنِى نَبِيًّا
وَجَعَلَنِى مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ وَأَوْصَٰنِى بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱلزَّكَوٰةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
“Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (QS. Maryam: 30-31)
Sufyan bin ‘Uyainah berkata mengenai ayat “dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada“, ia berkata, “Maksudnya, diberkahi dengan dijadikan pengajar dalam kebaikan (mu’alliman lil khairi).” Hal ini menunjukkan bahwa mengajarkan kebaikan (mengajarkan ilmu) adalah berkah yang diberikan oleh Allah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ُفَإِنَّ البَرَكَةَ حُصُوْلُ الخَيْرِ وَنَمَاؤُهُ وَدَوَامُه
“Hakikat berkah adalah: (1) memperoleh kebaikan, (2) berkembangnya kebaikan, (3) langgengnya kebaikan.” (Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:521)
Pada hakikatnya, berkah hanya ada pada ilmu yang diwarisi dari para nabi serta mengajarkannya pada orang lain. Karena itulah Allah menyebutkan kitab-Nya MUBAROK, yaitu yang diberkahi. Di antarnya disebutkan dalam ayat,
وَهَٰذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَٰهُ ۚ أَفَأَنتُمْ لَهُۥ مُنكِرُونَ
“Dan Al Quran ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?” (QS. Al-Anbiya’: 50)
كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ إِلَيْكَ مُبَٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shaad: 29)
Allah menyebut rasul-Nya–Isa ‘alaihis salam–sebagai rasul yang diberkahi, seperti diungkap dalam ayat,
وَجَعَلَنِى مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ
dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada.
Berkah kitab dan rasul menjadi sebab diraihnya ilmu, petunjuk, dan dakwah di jalan Allah.
Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:521.
Keseratus tujuh belas (#149): Pahala dari Ilmu yang Diajarkan Sampai kepada Pengajar Ilmu
Disebutkan dalam kitab Ash-Shahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) sedekah yang pahalanya terus mengalir, (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) anak saleh yang mendoakan orang tua.” (HR. Muslim, no. 1631)
Hadits ini merupakan dalil terbesar yang menunjukkan kemuliaan, keutamaan, serta besarnya manfaat ilmu karena pahalanya sampai kepada si pengajar ilmu meskipun sudah meninggal, selama ilmu itu masih diambil manfaatnya, hingga seakan ia masih hidup dan amalnya tidak terputus, selain ia masih terus mendapatkan sanjungan. Maka, pahalanya terus mengalir ketika ia berpisah dari manusia, pahala ini menjadi kehidupan keduanya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus menyebut sampainya pahala tiga hal ini kepada orang yang telah meninggal dunia karena ia menjadi sebab pahala-pahala tersebut. Tatkala seseorang melakukan sebab terkait perintah dan larangan, ia mendapatkan hasilnya meskipun bukan usaha dan amalannya sendiri. Karena ia menjadi sebab adanya anak saleh, sedekah yang pahalanya terus mengalir, dan ilmu yang bermanfaat, pahalanya terus menerus mengalir untuknya dengan tersebarnya ilmu itu.
Dengan demikian, seseorang mendapat pahala dari amalan yang dilakukan sendiri atau turunannya.
Lihat Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:522.
Baca juga: Terputusnya Amalan Selain Tiga Perkara
Keseratus delapan belas (#150): Para Ulama akan Masuk Surga Tanpa Hisab pada Hari Kiamat
Disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dari ‘Abdullah bin Daud, ia berkata, “Pada hari kiamat, Allah akan menjauhkan para ulama dari perhitungan amal, lalu Allah berfirman, “Masuklah ke surga meski apa pun (kebaikan dan keburukan) pada diri kalian. Sungguh, Aku menempatkan ilmu-Ku pada kalian karena kebaikan yang Aku inginkan.”
Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Yang lain menambahkan dalam riwayat ini: ‘Allah menahan ulama-ulama pada hari kiamat dalam satu golongan tersendiri sampai urusan di antara manusia selesai diputuskan, di mana penghuni surga masuk ke dalam surga, penghuni neraka masuk ke dalam neraka. Allah memanggi para ulama dan berkata: ‘Hai para ulama! Sungguh, tidaklah Aku menempatkan hikmah-Ku dalam diri kalian, lalu Aku bermaksud menyiksa kalian. Aku tahu bahwa kalian berbuat kemaksiatan seperti yang dilakukan selain kalian, lalu aku menutupi kesalahan kalian dan aku mengampuni kesalahan kalian. Aku diibadahi semata karena fatwa dan pengajaran yang kalian sampaikan pada hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga tanpa hisab.’ Setelah itu Allah berfirman, “Tidak ada yang mampu memberikan apa yang dicegah oleh Allah dan tidak ada yang menghalangi apa yang diberikan oleh Allah.”
Hal ini disebabkan karena amalan kebaikan orang yang mengajarkan ilmu itu akan mengalahkan amalan kejelakannya karena ada kebaikan yang dahulu diajarkan masih diamalkan orang lain sepeninggal orang berilmu.
Ingat, siapa saja yang memiliki kebaikan dan kadarnya besar, di samping dia berpengaruh secara nyata dalam Islam, orang seperti ini mendapat ampunan tidak seperti ampunan yang diberikan kepada orang lain. Sebab kemaksiatan adalah kotor, tetapi ketika air sudah menjadi dua kolam, ia tidak mengandung kotoran lagi. Berbeda dengan air yang hanya sedikit, air ini kotor ketika ada kotoran jatuh ke dalamnya.
Itulah kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada sahabat yang mengikuti perang Badar, “Lakukan sesuka kalian, Aku telah mengampuni kalian.”
Allah itu lebih memaafkan orang-orang berilmu yang memiliki banyak kebaikan, yang lebih mementingkan cinta serta rida Allah, itu bila dibandingkan dengan orang selain orang berilmu. Manakala orang alim berbuat salah, ia segera kembali, membenahi kekeliruan, dan mengobati luka karena ia laksana dokter yang mahir dan mengetahui penyakit, apa saja sebab-sebabnya, dan apa saja obatnya, karena penyakit tersebut lebih cepat hilang di tangannya daripada melalui tangan orang bodoh.
Keburukan dosa orang berilmu dan orang tidak berilmu tentu berbeda, karena kebodohan itu lebih parah karena ia tidak memiliki kebaikan yang bisa melawan keburukan.
Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim dalam Miftaah Daar As-Sa’aadah, 1:523-529.
Baca juga: Mereka yang Keluar dari Neraka
Keseratus sembilan belas (#151): Menuntut Ilmu Lebih Utama Dibanding Ibadah Sunnah
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang alim sibuk belajar serta mengajarkan ilmunya akan senantiasa berada dalam pahala ibadah karena belajar. Ingatlah, mengajarkan ilmu itu sendiri adalah ibadah. (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:529)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang faqih (yang memahami agama) senantiasa shalat.” Orang-orang bertanya, “Bagaimana bentuk shalatnya?” Beliau menjawab, “Ia menyebut Allah di hati dan lisannya.” Atsar ini disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
Mu’adz pernah berkata, “Pelajarilah ilmu. Sungguh, mempelajari ilmu karena Allah adalah wujud rasa takut, mencarinya adalah bagian ibadah, dan mudzakarah (bertukar pikiran) tergolong tasbih.” Riwayat ini mawquf, yaitu perkataan sahabat.
Ibnu ‘Abdil Barr menukilkan hadits marfu’ dari Mu’adz, “Sungguh, kamu pergi pagi-pagi lalu mempelajari satu bab ilmu, itu lebih baik bagimu daripada shalat seratus rakaat.”
Ibnu Wahab berkata, “Suatu ketika aku berada di dekat Malik bin Anas, lantas waktu shalat Zhuhur atau Ashar tiba saat aku sedang membaca dan membahas ilmu di hadapannya. Aku lantas mengumpulkan buku-bukuku, merapihkannya, lalu aku bangkit untuk shalat, lalu Malik berkata kepadaku, ‘Mau ke mana?’ Aku menjawab, ‘Aku hendak shalat.’ Malik berkata, ‘Ini aneh! Apa yang hendak kamu lakukan (untuk shalat pada awal waktu) tidaklah lebih baik daripada apa yang tadi kamu kerjakan (belajar ilmu), jika niatnya benar.”
Ar-Rabi’ berkata, “Aku mendengar Imam Syafii rahimahullah berkata, ‘Menuntut ilmu itu lebih baik daripada ibadah nafilah (ibadah sunnah).`”
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Tak ada suatu amalan yang lebih baik daripada menuntut ilmu jika niatnya benar.”
Seseorang bertanya kepada Al-Mu’afa bin Imran, “Mana yang lebih engkau sukai, apakah aku mengerjakan shalat malam sepanjang malam ataukah aku duduk di malam hari untuk menulis hadits?” Ia menjawab, “Engkau menulis sebuah hadits itu lebih kusukai daripada engkau shalat malam dari awal hingga akhir malam.”
Dia juga berkata, “Menulis satu hadits itu lebih aku sukai daripada qiyamul lail.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Mudzakarah ilmu (bertukar pikiran dalam hal ilmu) pada sebagian malam lebih aku sukai daripada menghidupkan malam seluruhnya.”
Abu Hurairah rahimahullah berkata, “Aku duduk sesaat lantas aku paham pada ilmu dalam agama ini lebih aku sukai daripada menghidupkan malam seluruhnya hingga datang Shubuh.”
Ibnul Qayyim rahimahullah lalu berkata, “Menuntut ilmu, menulis, serta memeriksa ilmu adalah salah satu amalan terbaik karena termasuk amalan hati dan raga. Kedudukan menuntut ilmu bagi raga laksana kedudukan amalan hati, seperti ikhlas, tawakal, cinta, inabah (kembali kepada Allah), takut, rida, dan amalan batin lainnya.”
Beliau rahimahullah melanjutkan, “Jika ada yang mengatakan, ilmu tidak lain sebagai sarana sekaligus maksud dari amal, sedangkan amal adalah tujuan. Tujuan itu lebih mulia daripada alat atau sarana. Lantas bagaimana alat bisa dianggap lebih utama daripada tujuan.
Maka jawabannya adalah, masing-masing dari ilmu dan amal terbagi menjadi dua, yaitu ada yang menjadi alat dan ada yang menjadi tujuan. Tidak semua ilmu menjadi alat untuk mencapai suatu yang lain. Karena ilmu dalam mengenal Allah, nama, dan sifat-Nya adalah ilmu yang paling mulia secara mutlak. Ilmu inilah yang secara esensi atau hakiki diperintahkan supaya kita ketahui.”
Ibnul Qayyim rahimahullah lalu berkata, “Siapa saja yang melaksanakan dua hal, yaitu berilmu dan beramal, tentu lebih sempurna. Jia pun salah satunya lebih baik, toh kebaikan ilmu lebih baik daripada kebaikan ibadah. Oleh karena itu, manakala seorang hamba memiliki amalan lebih yang melebihi amalan wajibnya, maka kesempatan untuk melaksanakan amalan ini lebih baik dialihkan untuk mempelajari ilmu yang merupakan warisan para nabi daripada dialihkan untuk ibadah yang tanpa ilmu.”
Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:529-533.
Ingatlah, Allah menciptakan kita agar kita benar-benar mengenal Allah. Itulah tujuan penciptaan manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12)
Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya,
“Kemudian Allah mengabarkan bahwa Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa saja yang ada padanya dan yang ada di antara masing-masing tingkatannya. Allah menurunkan perintah yang berupa syariat dan hukum-hukum duniawi yang diwahyukan kepada para rasulNya sebagai peringatan dan nasihat untuk manusia. Begitu juga dengan undang-undang alam dan takdir yang mengatur seluruh mahkluk. Semua itu bertujuan agar manusia mengetahui keluasan KuasaNya atas segala sesuatu. Semuanya berada dalam jangkauan ilmuNya. Jika manusia mengetahui nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang suci, mereka akan menyembah, mencintai, dan menunaikan hakNya. Dan inilah tujuan yang dimaksudkan dari penciptaan dan diturunkannya perintah (syariat dan hukum); yaitu mengenal dan menyembah Allah. Hamba-hamba Allah yang saleh yang mendapatkan taufik menunaikannya, sedangkan orang-orang zhalim berpaling darinya.”
Ayat di atas dilengkapi dengan ayat,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Inilah dalil yang menunjukkan bahwa diciptakannya manusia itu untuk: (1) beribadah kepada Allah semata, (2) mengenal Allah Sang Pencipta.
Perlu diketahui bahwa irodah (kehendak) Allah itu ada dua macam.
Pertama adalah irodah diniyyah (irodah syariyyah), yaitu setiap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah berupa amalan saleh. Namun, orang-orang kafir dan fajir (ahli maksiat) melanggar perintah ini. Seperti ini disebut dengan irodah diniyyah, tetapi amalannya dicintai dan diridai. Irodah seperti ini bisa terealisir dan bisa pula tidak terealisasi.
Kedua adalah irodah kauniyyah, yaitu segala sesuatu yang Allah takdirkan dan kehendaki, tetapi Allah tidaklah memerintahkannya. Contohnya adalah perkara-perkara mubah dan bentuk maksiat. Perkara-perkara semacam ini tidak Allah perintahkan dan tidak pula diridai. Allah tidaklah memerintahkan makhluk-Nya berbuat kejelekan, Dia tidak meridai kekafiran, walaupun Allah menghendaki, menakdirkan, dan menciptakannya. Dalam hal ini, setiap yang Dia kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terwujud. Jika kita melihat surat Adz Dzariyat ayat 56,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Tujuan penciptaan di sini termasuk irodah diniyyah. Jadi, tujuan penciptaan di sini tidaklah semua makhluk mewujudkannya. Oleh karena itu, dalam tataran realita ada orang yang beriman dan orang yang tidak beriman. Tujuan penciptaan di sini yaitu beribadah kepada Allah adalah perkara yang dicintai dan diridhoi, namun tidak semua makhluk merealisasikannya. (Lihat pembahasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa, 8:189)
Baca juga: Untuk Apa Kita Diciptakan di Dunia Ini?
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Tujuan yang terpuji yang jika setiap insan merealisasikannya bisa menggapai kesempurnaan, kebahagiaan hidup, dan keselamatan adalah dengan mengenal, mencintai, dan beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Inilah hakekat dari perkataan seorang hamba “Laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah)”. Dengan kalimat inilah para Rasul diutus dan semua kitab diturunkan. Suatu jiwa tidaklah menjadi baik, suci dan sempurna melainkan dengan mentauhidkan Allah semata.” (Miftaah Daaris Sa’aadah, 2:120)
Referensi:
Miftah Daar As-Sa’aadah wa Mansyur Walaayah Ahli Al-‘Ilmi wa Al-Idarah. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabiy Al-Atsariy. Penerbit Dar Ibnul Qayyim dan Dar Ibnu ‘Affan. Mulai dari 1:217.
—
Mulai diringkas, 21 Muharram 1443 H, 27 Agustus 2021
Selesai diedit pada Rabu, 27 Safar 1445 H, 13 September 2023
@ Darush Sholihin Pangggang Gunungkidul
Artikel Rumaysho.Com